Pengampunan pajak tahun 1984 gagal capai target - Gerakan Relawan Indonesia

Breaking

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Sabtu, 03 September 2016

Pengampunan pajak tahun 1984 gagal capai target



Presiden Soeharto, Sabtu (17/3/1984), menerima empat menteri, yakni Radius Prawiro (Menkeu), Ali Wardhana (Menko Ekuin), JB Sumarlin (Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas), dan Moerdiono (Menmud Sekretaris Kabinet) di ruang kerja Istana Merdeka.

Selain diterapkan tahun 2016 ini, kebijakan pengampunan pajak pernah diterapkan pemerintah Indonesia pada tahun 1965 dan 1984.

Melalui Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1984 tanggal 18 April 1984, pemerintah memberi pengampunan untuk pajak yang belum dibayar tahun 1983 dan tahun-tahun sebelumnya. Pengampunan pajak hanya diberikan satu kali dan berakhir tanggal 31 Desember 1984.

Namun, masa pengampunan pajak itu kemudian diperpanjang hingga 30 Juni 1985, dengan alasan untuk menjaring lebih luas jumlah wajib pajak. Selain itu, juga untuk memberi kesempatan kepada wajib pajak yang masih bingung mendapatkan informasi yang lengkap tentang pengampunan pajak tersebut.

Menko Ekuin dan Pengawasan Pembangunan Ali Wardhana seperti dimuat dalam berita utama harianKompas, Kamis, 19 April 1984, berharap dengan pengampunan pajak itu, masyarakat membayar pajak sebaik-baiknya secara jujur dan terbuka sehingga dana wajib pajak menjadi andalan dalam pembiayaan pembangunan nasional.

Kesempatan mendapatkan pengampunan pajak diberikan kepada seluruh wajib pajak, pribadi ataupun badan, baik yang telah maupun yang belum terdaftar sebagai wajib pajak.

Pengampunan pajak diberikan untuk tujuh jenis pajak yang belum sepenuhnya dikenakan atau dipungut. Berdasarkan isi Keppres No 26/1984 tentang Pengampunan Pajak yang ditetapkan di Jakarta pada 18 April 1984 oleh Presiden Soeharto dan diundangkan di Jakarta pada tanggal yang sama oleh Mensesneg Sudharmono, tercantum bahwa tujuh jenis pajak yang mendapat pengampunan adalah:

1. Pajak pendapatan atas pendapatan yang diperoleh dalam tahun pajak 1983 dan sebelumnya.
2. Pajak kekayaan atas kekayaan yang dimiliki pada tanggal 1 Januari 1984 dan sebelumnya.
3. Pajak perseroan atas laba yang diperoleh dalam tahun pajak 1983 dan sebelumnya.
4. Pajak atas bunga, dividen, dan royalti (PBDR) yang terutang atas bunga, dividen dan royalti yang dibayarkan sampai tanggal 31 Desember 1983.

5. MPO (menghitung pajak orang lain) wajib pungut yang terutang dalam tahun 1983 dan sebelumnya.

6. Pajak pendapatan buruh (PPd.17a) yang terutang dalam tahun pajak 1983 dan sebelumnya.

7. Pajak penjualan (PPn) yang terutang dalam tahun 1983 dan sebelumnya.
Atas pajak-pajak yang belum pernah atau belum sepenuhnya dikenakan atau dipungut yang dimintakan pengampunan pajak, dikenai tebusan dengan tarif.

a. 1% (satu persen) dari jumlah kekayaan yang dijadikan dasar untuk menghitung jumlah pajak yang dimintakan pengampunan, bagi wajib pajak yang pada tanggal ditetapkan keppres ini telah memasukkan surat pemberitahuan pajak pendapatan/pajak perseroan tahun 1983 dan pajak kekayaan tahun 1984.

b. 10% (sepuluh persen) dari jumlah kekayaan yang dijadikan dasar untuk menghitung jumlah pajak yang dimintakan pengampunan, bagi wajib pajak yang pada tanggal ditetapkan keppres ini belum memasukkan surat pemberitahuan pajak pendapatan/pajak perseroan tahun 1983 dan pajak kekayaan tahun 1984.

Jumlah kekayaan yang dijadikan dasar untuk menghitung jumlah pajak yang dimintakan pengampunan adalah selisih jumlah kekayaan bersih yang tercantum dalam daftar kekayaan neraca per 1 Januari 1984 yang benar.

Terpusat pada kewajiban

Tajuk Rencana Kompas, Rabu, 25 April 1984, berjudul "Masih Lebih Terpusat pada Kewajiban" menulis bahwa keppres itu menjawab sebagian pertanyaan yang diajukan masyarakat mengenai penerapan sistem pajak baru. Selama hampir empat puluh tahun kita merdeka, masyarakat tidak melihat pajak sebagai salah satu kewajiban bernegara. Masyarakat sudah terbiasa berpikir dan bertindak dalam kultur di mana pajak bisa "diatur" seperti halnya banyak aturan lain. Orang sering beranggapan, kejujuran dan keterbukaan masyarakat, termasuk dalam hal pajak, jauh lebih "mahal" daripada sebaliknya.

Pengenalan dan penggalakan sistem pajak baru terasa masih lebih memusat pada kewajiban, belum pada hak seorang wajib pajak. Kewajiban tidak dapat dilepaskan dari hak, keduanya berkaitan dan saling mendukung serta saling membutuhkan. Di sinilah letak perbedaan antara negara merdeka dan negara jajahan. Pengenalan dan penggalakan sistem pajak baru tak cukup dilancarkan aparat perpajakan karena aparat ini lebih menangani segi kewajiban, sedangkan segi hak wajib pajak bersinggungan dengan semua aparat lain.

Tajuk Rencana Kompas mengingatkan pentingnya keterlibatan langsung semua aparat agar sistem pajak baru dapat terlaksana berlandaskan kejujuran dan keterbukaan.

Diperpanjang sampai 30 Juni 1985
Masa pengampunan pajak ini kemudian diperpanjang sampai 30 Juni 1985 berdasarkan Keppres No 72 Tahun 1984 tertanggal 22 Desember 1984. Menteri Keuangan Radius Prawiro seperti diberitakan Kompas, Rabu, 26 Desember 1984, menyebutkan, perpanjangan itu untuk memberi peluang lebih luas bagi wajib pajak untuk memperoleh informasi yang lebih jelas mengenai manfaat pajak.

Selain itu, wajib pajak dan calon wajib pajak juga punya waktu cukup untuk mengisi laporan tentang kekayaan secermat mungkin. Penyuluhan mengenai pengampunan pajak membutuhkan waktu untuk dipahami sungguh-sungguh, terutama bagi yang belum menjadi wajib pajak dan belum memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP).

Menjelang akhir pengampunan pajak, seperti laporan Kompas, Kamis, 27 Juni 1984, sebagian besar Kantor Inspeksi Pajak (KIP) di Jakarta masih tenang, tak ada serbuan wajib pajak yang akan mengajukan pengampunan pajak.

Sebelum tahun 1984, jumlah wajib pajak di seluruh Indonesia tak sampai 500.000 orang. Setelah keluar Keppres tentang Pengampunan Pajak tertanggal 18 April 1984 hingga pertengahan 1985, jumlah wajib pajak naik dua-tiga kali lipat. Menurut Tajuk Rencana Kompas, Selasa, 2 Juli 1985 berjudul "Berakhirnya Masa Pengampunan", jumlah wajib pajak 1,6 juta belum memadai. Karena itu, usaha penggalakan perluasan jumlah wajib pajak belum selesai dan harus ditingkatkan lagi.
Berkaca dari pengalaman pengampunan pajak tahun 1984 yang tidak mencapai target, pengampunan pajak 2016 selayaknya tidak mengulangi kegagalan kebijakan sebelumnya.
(ROBERT ADHI KSP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages